Selasa, 01 Januari 2013

Perang Shiffin, Celah Munafiqin Mencela Amirul Mu’minin

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc)
Celaan kepada sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan z dimunculkan pula dari sebuah peristiwa besar, Perang Shiffin. Peperangan dua barisan kaum muslimin itu dimanfaatkan oleh orang-orang munafik untuk mencela generasi terbaik, tanpa memahaminya dengan pemahaman salaful ummah.
Mereka menuduh Mu’awiyah z berkehendak merebut kekhilafahan Ali bin Abi Thalib z dalam perang itu. Mereka juga mengatakan bahwa perang antara Ali dan Mu’awiyah dalam Perang Shiffin sama dengan peperangan antara Ali dan kaum Khawarij. Mereka, kaum zindiq berkesimpulan, Mu’awiyah adalah pemberontak sebagaimana kaum Khawarij. Benarkah tuduhan itu? Bagaimana Ahlus Sunnah wal Jamaah menyikapi fitnah Perang Shiffin?
Perang Itu Akan Terjadi
Debu Shiffin membumbung ke angkasa. Perang besar antara dua barisan besar kaum muslimin tidak mungkin dielakkan sebagai ketetapan Rabbul ‘Alamin.
Perang Shiffin adalah perang fitnah dua barisan kaum mukminin. Allah l menakdirkan perang itu dengan hikmah yang sangat mendalam. Di antaranya, sebagai ujian bagi manusia dalam menyikapinya, apakah dia menyikapinya sesuai dengan bimbingan Rasulullah n dan mengikuti jalan salafus saleh atau ia binasa mengikuti gelombang kerusakan.
Allah l berfirman,
“Supaya Allah memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya di atas sebagian yang lain, lalu kesemuanya ditumpukkan-Nya, dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka Jahannam. Mereka itulah orang-orang yang merugi.” (al-Anfal: 37)
Perang Shiffin telah dikabarkan Rasulullah n dalam sabdanya,
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَقْتَتِلَ فِئَتَانِ عَظِيمَتَانِ يَكُونُ بَيْنَهُمَا مَقْتَلَةٌ عَظِيمَةٌ دَعْوَتُهُمَا وَاحِدَةٌ
“Tidak akan tegak hari kiamat hingga terjadi peperangan antara dua kelompok besar. Korban besar terjadi di antara keduanya. Kedua kelompok itu memiliki seruan yang sama (yakni keduanya dari kaum muslimin, -pen).” (HR. al-Bukhari, “Kitab al-Fitan” 13/88 no. 6588, Fathul Bari, Muslim 18/13 “Kitab al-Fitan wa Asyrathus Sa’ah” dari sahabat Abu Hurairah z)
Dua kelompok besar yang dimaksud dalam hadits ini—sebagaimana diterangkan oleh para ulama—adalah sahabat Ali z bersama barisannya dari penduduk Irak dan sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan z bersama barisannya dari penduduk Syam.1
Berita gaib dari Rasulullah n ini benar-benar terwujud sebagai salah satu mukjizat beliau yang terjadi pada masa awal Islam (yakni di saat para sahabat masih hidup).2
Shiffin adalah sebuah daerah yang berdekatan dengan negeri Riqqah di tepian sungai Efrat (=Furat, sungai di Irak). Di sanalah terjadi perang antara penduduk Irak di barisan sahabat yang mulia Ali bin Abi Thalib z dan penduduk Syam di barisan sahabat yang mulia Mu’awiyah bin Abi Sufyan c, pada bulan Shafar 37 H. Sangat besar jumlah kaum muslimin yang terbunuh dalam Perang Shiffin. Tujuh puluh ribu muslimin, bahkan dikatakan lebih dari itu, harus mengembuskan napas terakhirnya di sahara Shiffin. Semoga Allahlmerahmati mereka.
Sikap Ahlus Sunnah dalam Perang Shiffin
Tidak diragukan, Perang Shiffin adalah ujian berat bagi kaum muslimin saat itu dan yang sesudahnya hingga hari kiamat.
Perang Shiffin, dalam tarikh Islam ibarat pedang bermata dua yang sangat tajam. Siapa yang berhati-hati memegangnya, ia akan selamat dan memperoleh kemenangan. Akan tetapi, siapa yang gegabah dan menzalimi dirinya dalam mencerna dan menyikapinya, pedang itu akan berbalik menusuk dadanya, merobek jantungnya hingga dia terkapar, binasa, dan terempas badai fitnah sembari membawa kemurkaan Allah l, Rabbul ‘Alamin.
Bagaimana seorang muslim menyikapi Perang Shiffin? Jawaban atas pertanyaan ini adalah: Wajib bagi seorang mukmin mengikuti bimbingan Rasulullah n dan menyusuri jejak para sahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan ihsan dalam menyikapi fitnah Shiffin.
Allah l berfirman,
“Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (an-Nisa: 115)
Ulama ahlul hadits, Ahlus Sunnah wal Jamaah, menegaskan bahwa salah satu akidah yang dengannya seorang berbenteng dari terpaan fitnah adalah menahan diri membicarakan persengketaan yang terjadi di antara para sahabat.
Sesungguhnya, apa yang ditegaskan dan disepakati oleh salaf adalah bagian dari wasiat Rasulullah n dalam banyak sabda beliau. Di antaranya,
إِذَا ذُكِرَ أَصْحَابِي فَأَمْسِكُوا
“Jika disebut-sebut tentang (perselisihan) sahabatku, tahanlah diri kalian (dari mencela mereka).” (HR. ath-Thabarani 2/78/2, Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam al-Hilyah 4/108, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani t dalam ash-Shahihah [1/75 no. 34])
Demikian pula sabda beliau n,
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي، لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
“Jangan kalian mencela sahabat-sahabatku. Jangan kalian mencela sahabat-sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya salah seorang dari kalian berinfak emas sebesar Gunung Uhud, tidak akan menandingi satu mud sedekah mereka atau setengahnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, ini adalah lafadz Muslim)
Inilah adab yang diajarkan oleh Allah lkepada kita dalam bersikap terhadap para sahabat Rasulullah n. Kita tidak berkata tentang mereka selain kebaikan dan kita selalu mendoakan mereka.
Allah lberfirman,
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, “Ya Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman, ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (al-Hasyr: 10)
Suatu saat, al-Imam Ahmad t ditanya tentang apa yang terjadi antara dua sahabat mulia, Ali dan Mu’awiyah c. Beliau pun menjawab dengan membacakan firman Allah l,
“Itu adalah umat yang telah lalu, baginya apa yang diusahakannya dan bagimu apa yang kamu usahakan; dan kamu tidak akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan.” (al-Baqarah: 141)
Benar, mereka adalah kaum yang telah berlalu membawa amalan-amalan yang menyebabkan Allah l ridha. Mereka telah mencurahkan segala kemampuan untuk kebaikan Islam. Adapun kesalahan yang terjadi pada diri mereka adalah hal yang bisa terjadi, karena tidak ada seorang sahabat pun yang maksum. Hanya saja, Allah l telah mengampuni dan meridhai mereka semua.
Alasan Wajibnya Menahan Diri Membicarakan Fitnah antara Sahabat
Kewajiban menjaga diri dari membicarakan fitnah yang terjadi di antara sahabat adalah prinsip Ahlus Sunnah yang sangat mendasar. Siapa yang melanggar prinsip ini, ia telah keluar dari jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Ada beberapa sebab yang mendasari kewajiban menahan diri dari membicarakan fitnah yang terjadi di antara sahabat—termasuk Perang Shiffin, peperangan antara sahabat Ali dan Mu’awiyah c—di antaranya,
1. Rasulullah n memerintahkan kita untuk diam dan menahan diri ketika sahabat-sahabat Rasul n dibicarakan.
Rasulullah n bersabda,
إِذَا ذُكِرَ أَصْحَابِي فَأَمْسِكُوا
“Jika disebut-sebut sahabatku (dengan kejelekan –pen.), tahanlah diri kalian!” (HR. ath-Thabarani 2/78/2, Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam al-Hilyah 4/108, dan dinyatakan sahih oleh al-Albani t dalam ash-Shahihah [1/75 no. 34])
2. Membicarakan fitnah yang terjadi di tengah sahabat—tanpa diiringi ketakwaan dan akidah yang sahih—tidak memberikan faedah, baik ilmu maupun amal.
Lihatlah al-Khawarij dan Rafidhah, misalnya. Khawarij memandang dua kelompok yang berperang, yaitu sahabat Ali dan Mu’awiyah c kafir. Adapun Rafidhah mengafirkan Mu’awiyah z. Padahal dengan tegas Rasulullah n menyifati kedua kelompok itu dengan keimanan. Demikian pula, salaf bersepakat bahwa dua barisan tersebut adalah kaum muslimin. Perhatikan sabda beliau,
دَعْوَتُهُمَا وَاحِدَةٌ
“Kedua kelompok itu memiliki seruan yang sama (yakni keduanya dari kaum muslimin).” (HR. al-Bukhari)
3. Membicarakan fitnah yang terjadi di tengah sahabat boleh jadi justru mengantarkan seseorang kepada akibat buruk yang tidak diharapkan, seperti pencelaan terhadap para sahabat Rasul n.
Hal ini menyebabkan dia tergelincir dengan munculnya kebencian terhadap sebagian atau banyak sahabat hingga ia pun binasa. Maka dari itu, hendaknya pintu ini ditutup. Di samping itu, termasuk pokok-pokok syariat adalah saddu adz-dzari’ah, menutup jalan yang akan mengantarkan kepada kebinasaan.
4. Tarikh (sejarah) fitnah yang terjadi di tengah-tengah sahabat telah disusupi kebatilan oleh ahlul bid’ah, kaum munafik, Rafidhah, dan musuh-musuh Islam.
Hal ini sebagaimana telah kita gambarkan dalam Kajian Utama Konspirasi Mencabik Kehormatan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c. Kenyataan ini tentu membuat seseorang khawatir untuk masuk kepada pembahasan fitnah. Boleh jadi, ia membangun sebuah kesimpulan atau keyakinan (i’tiqad) di atas berita yang dusta atau lemah sehingga rusaklah agamanya.
5. Fitnah di antara sahabat telah terjadi di zaman yang sangat jauh dari zaman kita. Sangat susah bagi kita sampai kepada hakikat sesungguhnya dari fitnah yang terjadi, bahkan mustahil kita mengetahui kejadian itu secara detail.
Tidakkah kita renungkan sejarah negeri kita, sejarah perjuangan kemerdekaan misalnya atau sejarah gerakan komunis PKI yang tidak jauh dari masa kita, tahun 60-an. Untuk mengetahui segala rentetan peristiwa dengan detail adalah perkara yang rumit. Lalu apa pendapat Anda tentang sejarah Perang Shiffin yang telah berlalu empat belas abad silam, dalam keadaan sejarah telah dimasuki oleh berita-berita dusta. Tidakkah seorang mengkhawatirkan diri dan agamanya ketika gegabah masuk ke dalamnya?
Inilah beberapa sebab yang mengharuskan seseorang tidak masuk dalam pembahasan fitnah melainkan jika diperlukan. Itu pun harus diiringi dengan akidah yang benar, akhlak mulia, dan rambu-rambu yang selalu diikuti dengan melihat penjelasan ulama ahlul hadits, Ahlus Sunnah wal Jamaah, serta selalu menimbang berita dengan timbangan dan kaidah ulama.
Sepintas Kronologi Perang Shiffin
Orang-orang yang bodoh dari penduduk Mesir terhasut bujukan Ibnu Saba’ al-Yahudi untuk berserikat menggulingkan Utsman bin ‘Affan z dari kekhilafahan hingga berakhir dengan pembunuhan Khalifah ar-Rasyid.3
Wafatnya Utsman bin Affan z menjadi awal cobaan dan fitnah bagi kaum muslimin, sebagaimana dikabarkan beritanya oleh Rasulullah n dalam sabda beliau,
وَإِذَا وَقَعَ عَلَيْهِمُ السَّيْفُ لَمْ يُرْفَعْ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Jika pedang telah dijatuhkan atas kaum muslimin, pedang itu tidak akan diangkat hingga hari kiamat.”4
Kondisi daulah menjadi genting dan sangat mencekam. Musuh-musuh Islam dari berbagai kalangan, seperti munafikin dan orang kafir, semakin mengintai. Demikian pula kelompok-kelompok sempalan yang sesat, seperti sekte Khawarij dan Syiah Rafidhah, memanfaatkan keadaan yang semakin tidak menentu. Hari-hari fitnah yang pernah dikabarkan oleh Rasulullah n pun datang bergelombang.
Semenjak wafatnya Utsman bin Affan z, Ali bin Abi Thalib z menjadi manusia termulia di muka bumi dengan kesepakatan sahabat. Kaum muslimin, sahabat Muhajirin dan Anshar, berbai’at kepada Ali sebagai Amirul Mukminin, menggantikan Utsman bin Affan z5 di tengah-tengah kondisi negeri yang membutuhkan kesabaran.
Setelah Ali bin Abi Thalib z menjadi amirul mukminin, sekelompok sahabat menginginkan agar kasus pembunuhan Utsman bin Affan z segera dituntaskan dengan menegakkan qishash atas para pembunuh beliau karena mereka telah mencoreng kehormatan darah, kehormatan tanah haram, dan kehormatan bulan haram. Apalagi, manusia yang dibunuh adalah sahabat Utsman bin Affan z.
Di antara sahabat yang berpendapat demikian adalah Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin al-Awwam, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, dan Ummul Mukminin Aisyah g. Berbeda halnya dengan Ali bin Abi Thalib z. Beliau z berpandangan untuk menunda kasus pembunuhan Utsman hingga kondisi negara membaik.
Mu’awiyah bin Abi Sufyan—sebagai wali Utsman bin ‘Affan secara syariat—berhak menuntut qishash dari pembunuh Utsman sebagaimana firman Allah l,
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.” (al-Isra’: 33)
Mu’awiyah z memandang qishash harus segera dilakukan, tidak boleh ditunda. Ijtihad Mu’awiyah z berseberangan dengan ijtihad Ali bin Abi Thalib z. Oleh sebab itu, beliau menunda bai’at sampai para pembunuh Utsman z diserahkan untuk ditegakkan qishash. Ketika itu, Mu’awiyah z adalah gubernur Syam di masa khalifah Utsman bin Affan z. Dengan perbedaan ijtihad ini, tertundalah bai’at Mu’awiyah z dan penduduk Syam.
Ibnu Katsir t berkata, “Ketika bai’at telah kokoh untuk Ali bin Abi Thalib z, beberapa sahabat seperti Thalhah, az-Zubair, dan para pemuka sahabat g mengunjungi Ali z. Mereka meminta Ali z segera menegakkan had (qishash) dan menuntut balas darah Utsman z. Namun, Ali z menyampaikan uzur (untuk tidak secepat itu menegakkan qishash, -pen.) karena pembunuh-pembunuh Utsman z memiliki bala bantuan dan kroni-kroni, sehingga belum memungkinkan ditegakkan qishash saat itu. (al-Bidayah 7/239)
Kondisi daulah semakin diperparah dengan terjadinya Perang Jamal, yang sesungguhnya adalah bagian dari makar orang-orang Khawarij dan konspirasi para pembunuh Utsman bin Affan z. Perang Jamal juga semakin menunjukkan betapa bahayanya kondisi daulah karena makar para penyulut fitnah.
Perang Jamal terjadi pada 36 H. Sebab terjadinya perang ini diawali oleh keinginan baik Ummul Mukminin Aisyah x untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) antara dua barisan kaum muslimin. Berangkatlah Aisyah menuju Bashrah bersama Thalhah bin Ubaidillah, az-Zubair bin al-‘Awwam, dan sejumlah kaum muslimin dengan tujuan ishlah. Berjumpalah dua barisan besar kaum muslimin—barisan Ali dan Aisyah. Perdamaian pun terjadi di antara kedua belah pihak. Malam itu pun menjadi malam yang sangat indah dan tenang karena terwujudnya perdamaian.
Namun, para penyulut fitnah tidak tinggal diam. Mereka melakukan makar dengan membuat penyerangan dari dua kubu sekaligus. Akhirnya, pecahlah kekacauan. Khalifah Ali bin Abi Thalib menyangka beliau diserang sehingga harus membela diri. Demikian pula Aisyah, ia menyangka diserang sehingga harus membela diri. Terjadilah peperangan yang sesungguhnya tidak diinginkan. Yang harus diketahui, tidak ada sahabat yang ikut dalam fitnah tersebut melainkan beberapa orang saja.6
Kondisi yang semakin parah dan fitnah yang semakin meruncing, demikian pula makar Khawarij, Syiah Rafidhah, dan kaum munafik yang terus diembuskan, membuat Khalifah Ali bin Abi Thalib z semakin berat menegakkan qishash dan semakin kokoh mempertahankan ijtihad beliau demi kemaslahatan kaum muslimin.
Perlu menjadi perhatian, Ali bin Abi Thalib z sesungguhnya tidak menyelisihi keinginan wali Utsman dan para sahabat yang menghendaki ditegakkannya qishash. Beliau sepakat dan berniat untuk menegakkan qishash. Namun, masalahnya tidak sesederhana yang dibayangkan—menangkap pembunuh Utsman lalu memenggalnya. Tidak sesederhana itu. Orang-orang yang mengepung rumah Utsman bin Affan z dan berperan dalam pembunuhan beliau sangat banyak dan berpencar di tubuh kaum muslimin.
Ijtihad Mu’awiyah bin Abi Sufyan c tidak sejalan dengan ijtihad sahabat Ali bin Abi Thalib z. Ali memiliki sisi pandang yang berbeda dengan Mu’awiyah z. Beliau z melihat bahwa masa itu adalah zaman fitnah. Pembunuhan Utsman bin ‘Affan z benar-benar merupakan fitnah yang demikian besar. Keadaan dan kondisi daulah benar-benar rumit dan membahayakan, baik internal maupun eksternal. Musuh-musuh Islam dari luar selalu mengintai dan melihat kelengahan kaum muslimin. Di samping itu, kaum munafik yang berada di dalam tubuh kaum muslimin juga mengintai dan menanti saat untuk menghancurkan Islam.
Dengan latar belakang kondisi daulah yang seperti ini, ‘Ali z melihat untuk memperbaiki kondisi daulah lebih dahulu agar situasi menjadi tenang dan normal setelah kepiluan dan mendung kelabu menimpa kaum muslimin. Baru setelah itu qishash atas darah Utsman berusaha ditegakkan apabila memang wali Utsman menghendaki atau mungkin memaafkan dan diganti dengan diyat.
ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ ﮖ ﮗﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.” (al-Baqarah: 178)
Terjadilah surat-menyurat antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c. Beliau mengutus Jarir bin Abdilah al-Bajali z mengantar surat kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan c yang berisi pemberitahuan bahwa sahabat Muhajirin dan Anshar telah memberikan bai’at kepada Ali. Beliau sangat mengharap Mu’awiyah segera berbai’at kepada Ali sebagaimana manusia yang lain.
Sesampainya surat ke tangan Mu’awiyah, dipanggillah Amr bin al-Ash z dan pemuka-pemuka Syam untuk dimintai pendapat. Berakhirlah musyawarah Mu’awiyah dengan tetap menolak bai’at sampai Ali membunuh para pembunuh Utsman bin Affan z atau menyerahkannya kepada penduduk Syam. Kembalilah Jarir bin Abdillah z dengan hasil ijtihad Mu’awiyah bin Abi Sufyan tersebut….
Dua hari berlalu kedua sahabat mulia tidak melakukan surat-menyurat.
Ali bin Abi Thalib mengutus Basyir bin ‘Amr al-Anshari, Sa’id bin Qais al-Hamdani, dan Syabts bin Rib’i at-Tamimi menemui Mu’awiyah. “Pergilah kalian kepadanya. Ajak dia dalam ketaatan dan jamaah. Kalian dengarkan jawaban Mu’awiyah.”
Setelah mereka bertemu Mu’awiyah, perbincangan tetap berakhir pada kekokohan Mu’awiyah di atas ijtihad beliau untuk menuntut darah pembunuh Utsman sebelum memberikan bai’at kepada Ali bin Abi Thalib z.7
Akhirnya, kedua pasukan bertemu. Perang tidak dapat dielakkan. Terjadilah seperti apa yang pernah dikabarkan oleh Rasulullah n dalam sabdanya,
لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَقْتَتِلَ فِئَتَانِ عَظِيمَتَانِ يَكُونُ بَيْنَهُمَا مَقْتَلَةٌ عَظِيمَةٌ دَعْوَتُهُمَا وَاحِدَةٌ
“Tidak akan tegak hari kiamat hingga terjadi peperangan antara dua kelompok besar. Korban besar terjadi di antara keduanya. Kedua kelompok itu memiliki seruan yang sama (yakni keduanya dari kaum muslimin, -pen.).”
Akhir Peperangan
Korban kaum muslimin dari dua belah pihak berjatuhan. Jumlah muslimin yang terbunuh sangat besar, seperti berita ar-Rasul n puluhan tahun silam. Di tengah peperangan, penduduk Syam mengangkat mushaf-mushaf al-Qur’an dengan tombak mereka seraya berseru, “Al-Qur’an di antara kita dan kalian. Sungguh manusia telah binasa. Lantas siapa yang akan menjaga perbatasan Syam sepeninggal penduduk Syam? Siapa pula yang akan menjaga perbatasan Irak sepeninggal penduduk Irak?”
Di saat manusia melihat mushaf-mushaf diangkat, semua tersadar bahwa perang yang terjadi adalah perang fitnah. Korban yang berjatuhan adalah kaum muslimin. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Kedua belah pihak kemudian mengutus seorang yang arif dan tepercaya untuk bermusyawarah memutuskan urusan kaum muslimin. Diutuslah Amr bin al-Ash z dari pihak Mu’awiyah bin Abi Sufyan z dan Abu Musa al-‘Asy’ari z dari pihak Ali bin Abi Thalib z. Keduanya bersepakat bahwa dua pasukan besar kaum muslimin menyudahi fitnah dan segera kembali ke tempat masing-masing. Selanjutnya, akan diadakan pembicaraan dan musyawarah setelah segala sesuatunya tenang dan pulih.
Demikianlah yang terjadi, fitnah berakhir dengan keutamaan dari Allah l. Setelahnya, tidak terjadi sesuatu pun antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan c. Khalifah Ali bin Abi Thalib z terus menyibukkan diri mengemban amanat sebagai Amirul Mukminin dan memerangi kaum Khawarij sesuai dengan perintah Rasulullah n hingga terjadi pertempuran Nahrawan pada 39 H. Sebuah perang besar memberantas kaum Khawarij.
Tahun Jama’ah, Kemuliaan al-Hasan c & Keutamaan Mu’awiyah z
Pada tahun 40 H, musibah kembali menimpa kaum muslimin. Khalifah Ali bin Abi Thalib z dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam al-Khariji.8 Sepeninggal Ali bin Abi Thalib, kaum muslimin membai’at al-Hasan bin Ali z menggantikan posisi ayahandanya.
Kekuatan kaum muslimin masih terpecah menjadi dua barisan. Perpecahan masih terus membayangi perjalanan Daulah Islamiyah. Namun, dengan pertolongan Allah l, pada tahun 41 H terjadi sebuah peristiwa besar yang sangat membahagiakan. Kaum muslimin bersatu dalam satu kepemimpinan. Bersatu pula hati mereka yang sebelumnya berselisih.
Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib c mendamaikan dua golongan besar kaum muslimin dengan menyerahkan kekhilafahan kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan c. Terwujudlah berita Rasulullah n tiga puluhan tahun sebelum tahun jamaah.
Al-Hasan z berkata,
وَلَقَدْ سَمِعْتُ أَباَ بَكْرَةٍ قَالَ: بَيْنَا النَّبِيُّ n يَخْطُبُ جَاءَ الْحَسَنُ، فَقَالَ النَبِيُّ n: إِنَّ ابْنِي هَذَا لَسَيِّدٌ، وَلَعَلَ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مَنْ الْمُسْلِمِينَ.
Sungguh aku mendengar Abu Bakrah berkata, “Suatu hari ketika Nabi n berkhutbah, al-Hasan datang. Beliau lantas bersabda, ‘Sesungguhnya anakku ini benar-benar sayyid (seorang pemimpin), dan Allah akan mendamaikan dengan sebab dia dua kelompok besar dari kaum muslimin’.” (HR. al-Bukhari no. 6692–2557)
Al-Hafizh Ibnu Katsir asy-Syafi’i t berkata, “Ketika itu, masyarakat seluruhnya bersatu atas bai’at kepada Mu’awiyah pada tahun 41 H … Pemerintahan beliau terus berlangsung hingga wafatnya. Selama itu pula, jihad ke negeri musuh ditegakkan dan kalimat Allah l ditinggikan. Harta rampasan perang terus mengalir ke baitul mal. Bersama beliau, kaum muslimin berada dalam kelapangan dan keadilan.” (al-Bidayah wan Nihayah 8/122)
Syubhat Terkait dengan Perdamaian al-Hasan bin Ali c dan Mu’awiyah z
Lembaran tarikh yang sangat indah ini dikotori oleh para pendengki kebaikan dari kalangan Rafidhah dan yang semisalnya dengan tuduhan keji kepada al-Hasan. Mereka mengatakan bahwa al-Hasan terpaksa melakukan perdamaian karena dikhianati para pengikutnya. Digambarkan bahwa pasukan al-Hasan meninggalkan beliau sehingga terpaksa ia memberikan kekhilafahan kepada Mu’awiyah z.
Tidak, demi Allah. Perdamaian yang diberikan oleh al-Hasan adalah karena kedalaman ilmu dan ketakwaan beliau yang luar biasa. Ilmu dan ketakwaan seorang yang telah ditetapkan sebagai pemimpin para pemuda surga.
Beliau memberikan perdamaian untuk menjaga darah kaum muslimin dan untuk meninggikan kalimat Allah l, bukan karena takut. Terwujudlah sabda Rasul n bahwa al-Hasan adalah sayyid (pemuka).
Riwayat al-Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak mempertegas keadaan sesungguhnya dari perdamaian al-Hasan dengan Mu’awiyah c. Al-Hasan z berkata,
قَدْ كَانَ جَمَاجِمُ الْعَرَبِ فِي يَدِي يُحَارِبُونَ مَنْ حَارَبْتُ وَيُسَالِمُونَ مَنْ سَالَمْتُ، تَرَكْتُهَا ابْتِغَاءَ وَجْهِ اللهِ تَعَالَى وَحَقْنَ دِمَاءِ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ n
“Sungguh kekuatan Arab ada pada tanganku. Mereka siap memerangi orang yang ingin aku perangi. Mereka pun akan memberikan jaminan keamanan kepada orang yang aku beri jaminan. Namun, aku meninggalkannya demi mengharap wajah Allah dan mencegah tertumpahnya darah umat Muhammad n….” (HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak no. 4795. Al-Hakim berkata, “Sanad hadits ini sahih menurut syarat Syaikhain dan disepakati oleh adz-Dzahabi dalam at-Talkhish.”)
Kesimpulan dan Hakikat Penting yang Harus Dimengerti
Ahlus Sunnah meyakini bahwa sahabat tidaklah maksum. Akan tetapi, keutamaan, ibadah, dan istighfar mereka, serta sebab-sebab lainnya menjadikan dosa mereka gugur terpendam dalam lautan kemuliaan.
Mu’awiyah z sama sekali tidak bermaksud mencabut ketaatan kepada Ali atau merebut tampuk kekhilafahan. Beliau hanya berijtihad menunda bai’at hingga ditegakkan qishash. Beliau pun tidak menyangka bahwa ijtihad tersebut mengakibatkan terjadinya peperangan besar yang memakan banyak korban.
Perang Shiffin sama sekali tidak diinginkan, baik oleh Ali maupun Mu’awiyah. Dua sahabat yang mulia berijtihad dengan ijtihad yang mereka pandang paling baik bagi kaum mukminin.
Dengan demikian, mereka semua mendapatkan pahala dari ijtihad mereka sesuai dengan sabda Rasulullah n, “Yang benar ijtihadnya mendapatkan dua pahala dan yang salah mendapatkan satu pahala atas ijtihadnya.”
Abu Bakr Ibnu Abid Dunya berkata, “Abbad bin Musa bercerita kepadaku, Ali bin Tsabit al-Jazari berkata kepadaku, dari Sa’id bin Abi ‘Arubah, dari Umar bin Abdul Aziz t, beliau berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ n فِي الْمَنَامِ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ جَالِسَاهُ عِنْدَهُ، فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ وَجَلَسْتُ، فَبَيْنَمَا أَنَا جَالِسٌ إِذْ أُتِيَ بِعَلِيٍّ وَمُعَاوِيَةَ، فَأُدْخِلَا بَيْتًا وَأُجِيفَ الْبَابُ وَأَنَا أَنْظُرُ، فَمَا كَانَ بِأَسْرَعَ مِنْ أَنْ خَرَجَ عَلِيٌّ وَهُوَ يَقُولُ: قُضِيَ لِي وَرَبِّ الْكَعْبَةِ. ثُمَّ مَا كَانَ بِأَسْرَعَ مِنْ أَنْ خَرَجَ مُعَاوِيَةُ وَهُوَ يَقُولُ: غُفِرَ لِي وَرَبِّ الْكَعْبَةِ.
Aku melihat Rasulullah n dalam mimpi duduk bersama Abu Bakr dan Umar. Aku ucapkan salam kepada beliau lalu duduk. Ketika aku duduk, dihadapkan Ali dan Mu’awiyah. Keduanya lantas dimasukkan ke dalam sebuah rumah dan ditutuplah pintunya. Aku pun menanti. Tidak lama kemudian keluarlah Ali seraya berseru, “Urusanku dibenarkan, demi Rabb Ka’bah.” Tidak selang lama keluarlah Mu’awiyah seraya berseru, “Aku telah diampuni, demi Rabb Ka’bah.”
Sahabat yang berselisih tidak saling merendahkan satu dengan lainnya, bahkan mereka tetap saling mencintai di atas kecintaan kepada Allah l.9
Dalam Perang Shiffin, tidak ada sahabat yang ikut serta melainkan sangat sedikit. Kebanyakan mereka meninggalkan kancah dan menjauh dari fitnah, seperti Sa’d bin Abi Waqqash, Abdullah bin Umar, Muhammad bin Maslamah, Abu Bakrah Nufai’ bin al-Harits, Abu Musa al-Asy’ari, Salamah bin al-Akwa’, Usamah bin Zaid, Abu Mas’ud al-Anshari, dan sahabat lainnya, g.
Sa’d bin Abi Waqqash z berkata ketika diajak berperang,
لاَ أُقَاتِلُ حَتَّى يَأْتُونِي بِسَيْفٍ لَهُ عَيْنَانِ وَلِسَانٌ وَشَفَتَانِ يَعْرِفُ الْكَافِرَ مِنَ الْمُؤْمِنِ
“Aku tidak akan berperang sampai ada seorang datang membawa pedang untukku, yang memiliki dua mata, lisan, dan dua bibir yang bisa mengerti siapa yang kafir dan siapa yang mukmin.” (HR. al-Hakim 4/444. Ia berkata, “Hadits ini sahih sesuai dengan syarat Syaikhain.” Ini disepakati oleh adz-Dzahabi t.)
Dua Kelompok yang Bertikai Adalah Kaum Mukminin
Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah n di atas. Hadits yang lebih tegas menunjukkan bahwa kedua pasukan adalah kaum mukminin, adalah hadits Abi Bakrah z tentang keutamaan al-Hasan bin Ali c. Rasulullah n bersabda,
إِنَّ ابْنِي هَذَا لَسَيِِّدٌ، وَلَعَلَّ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ.
“Sesungguhnya anakku ini benar-benar sayyid (seorang pemimpin) dan Allah akan mendamaikan dengan sebab ia dua kelompok besar dari kaum muslimin.” (HR. al-Bukhari no. 6692 – 2557)
Perang di antara mukminin mungkin terjadi sebagaimana firman Allah l,
“Jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, damaikanlah keduanya.” (al-Hujurat: 9)
Dua golongan besar kaum muslimin bersatu pada 41 H, yang dikenal sebagai ‘Amul Jama’ah (tahun persatuan), atas jasa al-Hasan bin Ali c, cucu Rasulullah n, pemimpin pemuda ahlul jannah.
Catatan Kaki:
1 Lihat Fathul Bari (13/92).
2 Syarah Shahih Muslim, an-Nawawi (18/13).
3 Sejarah terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan z dapat dilihat kembali pada Majalah Asy-Syariah No. 57/V/1431 H/2010, Meluruskan Sejarah Memurnikan Akidah.
4 HR. Abu Dawud no. 4252 dan Ibnu Majah no. 3952, serta dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no.1773.
5 Selain Mu’awiyah sebagai gubernur Syam, demikian pula penduduk Syam menunda bai’at hingga ditegakkan qishash atas para pembunuh Utsman.
6 Lihat Tasdid al-Ishabah fima Syajara Bainash Shahabah, oleh Dziyab bin Sa’d al-Ghamidi dengan pengantar asy-Syaikh Prof. Dr. Shalih bin Fauzan.
7 Lihat Tarikh al-Umam wal Muluk karya Ibnu Jarir ath-Thabari (4/573) dan al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir (7/280).
8 Kisah meninggalnya Ali bin Abi Thalib z dapat dilihat kembali pada Majalah Asy-Syariah No. 57/V/1431 H/2010, “Meluruskan Sejarah Memurnikan Akidah”, Rubrik Kajian Utama berjudul Manusia Paling Celaka adalah Pembunuhmu, Wahai Ali!
9 Al-Intishar lish Shahabatil Akhyar, asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad, hlm. 173—178.

NIGELA PROPOLIS
BERMANFAAT UNTUK MENGOBATI BERBAGAI MACAM PENYAKIT SEPERTI, TBC,ASAM URAT,DBD,STROKE,MIGREN,MIUM,dll
pemesanan via email : abumuawiyah2011@gmail.com

Silaunya Kilatan Pedang (sepetik kisah dari Perang Uhud)

Buletin Islam Al Ilmu Edisi No: 26 / VI / VIII / 1431
Para pembaca, semoga Allah Subhaanallaahu wa Ta’aala senantiasa mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua, salah satu potret realita yang terkandung dalam rahim sejarah Islam. Peristiwa monumental yang tidak akan pernah terlupakan dalam benak muslim sejati. Peristiwa yang menggambarkan pertentangan dua sisi yang berlawanan. Pertarungan antara kebenaran melawan kebatilan. Manusia beradab melawan manusia biadab. Manusia mulia melawan manusia tercela. Kaum muslimin yang cinta kedamaian berseteru dengan kaum kafir yang suka kekacauan. Sebuah tragedi memilukan hati yang terkandung pelajaran penting dan berharga bagi muslim sejati terhadap petuah dan perintah (sunnah-sunnah) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam. Sebuah insiden berdarah kontak senjata antara kaum muslimin melawan kaum musyrikin Quraisy yang terjadi pada bulan Syawwal tahun ketiga Hijriyah, peristiwa tersebut dikenal dengan Perang Uhud. Berikut petikan ringkas kisahnya:
Latar belakang pertempuran
Mendung kesedihan masih saja menyelimuti kota Makkah. Tak bisa dipungkiri lagi bahwa Musyrikin Quraisy tak mampu menyembunyikan duka lara mendalam perihal kekalahan telak mereka pada perang Badar tahun kedua Hijriyah, hati mereka tersayat pilu tak terkira. Berita kalahnya pasukan Quraisy terasa begitu cepat menyebar keseluruh penjuru kota Makkah, bak awan bergerak menutupi celah celah langit yang kosong di musim penghujan. Berita duka itu serasa gempa bumi menggoncang batok kepala orang-orang musyrik. Namun sangat disayangkan, kekalahan telak kaum paganis Quraisy pada perang itu tak mampu merubah sikap bengis mereka terhadap kaum muslimin. Dendam kesumat nan membara tertancap kokoh dalam hati mereka, tewasnya tokoh-tokoh Quraisy berstrata sosial tinggi pada peristiwa nahas itu semakin menambah kental kebencian Quraisy terhadap kaum muslimin.
Persiapan pasukan Quraisy
Tokoh-tokoh Quraisy seperti Ikrimah bin Abu Jahal, Shafwan bin Umayah, dan Abu Sufyan bin Harb –sebelum mereka masuk Islam– bangkit sebagai pelopor-pelopor yang sangat getol mengobarkan api balas dendam terhadap Islam dan pemeluknya. Para orator ulung bangsa Arab tersebut menempuh langkah-langkah jitu untuk memuluskan program balas dendam tersebut, mula-mula mereka melarang warga Makkah meratapi kematian korban tewas perang Badar kemudian menunda pembayaran tebusan kepada pihak muslim untuk membebaskan tawanan Quraisy yang masih tersisa di Madinah. Mereka sibuk menggalang dana untuk menyongsong aksi balas dendam, mereka datang kepada para pemilik kafilah dagang Quraisy yang merupakan pemicu utama terjadinya perang Badar, seraya menyeru: ”Wahai orang-orang Quraisy! Sungguh Muhammad telah menganiaya kalian serta membunuh tokoh-tokoh kalian! Maka bantulah kami dengan harta kalian untuk membalasnya! Mudah-mudahan kami bisa menuntut balas terhadap mereka.”
Rencana tersebut mendapat respon hangat dari masyarakat Quraisy, kontan dalam waktu yang sangat singkat terkumpul dana perang yang cukup banyak berupa 1000 onta dan 50.000 keping mata uang emas. Sebagaimana yang Allah Subhaanallaahu wa Ta’aala lansir pada ayat ketigapuluh enam dari surat Al-Anfal:
Sesungguhnya orang-orang kafir itu mereka menginfakkan harta mereka untuk menghalangi manusia dari jalan Allah…
Hari demi hari tampak upaya mereka mendapat hasil signifikan. Betapa tidak, hanya dalam kurun waktu satu tahun saja mereka mampu menghimpun pasukan tiga kali lipat lebih besar dibanding jumlah pasukan Quraisy pada perang setahun lalu (perang Badar) ditambah fasilitas persenjataan yang memadai terdiri dari 3000 onta, 200 kuda dan 700 baju besi, jumlah total pasukan tidak kurang dari 3000 prajurit ditambah lima belas wanita bertugas mengobarkan semangat tempur dan menghalau pasukan lari mundur kebelakang.
Bertindak sebagai panglima tertinggi pasukan Quraisy adalah Abu Sufyan bin Harb, adapun pasukan berkuda dibawah komando Khalid bin Al Walid dan Ikrimah bin Abu Jahal, sementara panji- panji perang dipegang para ahli perang dari Kabilah Bani Abdud Dar, dan barisan wanita dibawah koordinasi Hindun bintu ’Utbah istri Abu Sufyan. Terasa lengkap dan cukup memadai persiapan Quraisy dalam periode putaran perang kali ini, arak-arakan pasukan besar sarat anarkisme dan angkara murka kini tengah merangsek menuju Madinah menyandang misi balas dendam dan melampiaskan nafsu setan-setan jahat.
Sampainya kabar kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam
Beliau menerima surat rahasia dari Al Abbas bin Abdul Mutthalib paman beliau yang masih bermukim di Makkah. Kala itu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berada di Quba, Ubay bin Ka’ab diminta untuk membaca surat tersebut dan merahasiakan isinya. Beliau bergegas menuju Madinah mengadakan persiapan militer menyongsong kedatangan ’tamu tak diharapkan itu’.
Bak angin berhembus, berita pergerakan pasukan kafir Quraisy menyebar keseluruh penjuru Madinah, tak ayal kondisi kota itu kontan tegang mendadak, penduduk kota siaga satu, setiap laki-laki tidak lepas dari senjatanya walau dalam kondisi shalat. Sampai-sampai mereka bermalam di depan pintu rumah dalam keadaan merangkul senjata.
Majelis musyawarah militer
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam mengumpulkan para sahabatnya sembari bersabda: ”Demi Allah sungguh aku telah melihat pertanda baik, aku melihat seekor sapi yang disembelih, pedangku tumpul, dan aku masukkan tanganku didalam baju besi, aku ta’wilkan sapi dengan gugurnya sekelompok orang dari sahabatku, tumpulnya pedangku dengan gugurnya salah satu anggota keluargaku sementara baju besi dengan Madinah”.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berpendapat agar tetap bertahan di dalam kota Madinah dan meladeni tantangan mereka di mulut-mulut lorong kota Madinah. Pendapat ini disetujui oleh gembong munafik Abdullah bin Ubay bin Salul, musuh Allah ini memilih pendapat ini bukan atas pertimbangan strategi militer melainkan agar dirinya bisa dengan mudah kabur dari pertempuran tanpa mencolok pandangan manusia. Adapun mayoritas para sahabat, mereka cenderung memilih menyambut tantangan Quraiys di luar Madinah dengan alasan banyak diantara mereka tidak sempat ambil bagian dalam perang Badar, kali ini mereka tidak ingin ketinggalan untuk ’menanam saham’ pada puncak amalan tertinggi dalam Islam. Hamzah bin Abdul Mutthalib sangat mendukung pendapat ini seraya berkata: ”Demi Dzat Yang menurunkan Al Qur’an kepadamu, sungguh Aku tidak akan makan sampai Aku mencincang mereka dengan pedangku di luar Madinah”
Dengan mempertimbangkan berbagai usulan para sahabat akhirnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memutuskan untuk menjawab tantangan Quraisy di medan terbuka luar kota Madinah. Dan meninggalkan selera Abdullah bin Ubay.
Hari itu Jum’at tanggal 6 Syawwal 3 H beliau memberi wasiat kepada para sahabat agar bersemangat penuh kesungguhan dan bahwasannya Allah akan memberi pertolongan atas kesabaran mereka. Lalu mereka shalat Ashar dan Beliau beranjak masuk kedalam rumah bersama Abu Bakar dan Umar bin Al Khathab, saat itu beliau mengenakan baju besi dan mempersiapkan persenjataan.
Para sahabat menyesal dengan sikap mereka yang terkesan memaksa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam untuk keluar dari Madinah, tatkala Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam keluar mereka berkata: ”Wahai Rasulullah, kami tidak bermaksud menyelisihi pendapatmu, putuskanlah sekehendakmu! Jika engkau lebih suka bertahan di Madinah maka lakukanlah!” Beliau menjawab: ”Tidak pantas bagi seorang nabi menanggalkan baju perang yang telah dipakainya sebelum Allah memberi keputusan antara dia dengan musuhnya.”

Kondisi umum pasukan Islam
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam membagi pasukan Islam menjadi tiga batalyon: Batalyon Muhajirin dibawah komando Mush’ab bin Umair, Batalyon Aus dikomando oleh Usaid bin Hudhair dan Batalyon Khazraj dipimpin oleh Khabbab bin Al Mundzir . Jumlah total pasukan Islam hanya 1000 orang, dengan perlengkapan fasilitas serba minim berupa 100 baju besi dan 50 ekor kuda (dikisahkan dalam sebuah riwayat: tanpa adanya kuda sama sekali) dalam perang ini. Wallahu a’lam
Sesampainya pasukan Islam disebuah tempat yang dikenal dengan Asy Syaikhan, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menyeleksi beberapa para sahabat yang masih sangat dini usia mereka diantaranya Abdullah bin Umar bin Al Khathab, Usamah bin Zaid, Zaid bin Tsabit, Abu Said Al Khudry dan beberapa sahabat muda lainnya, tak urung kesedihan pun tampak di wajah mereka dengan terpaksa mereka harus kembali ke Madinah.
Orang-orang munafikin melakukan penggembosan
Berdalih karena pendapatnya ditolak oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, tokoh munafik Abdullah bin Ubay bin Salul melakukan aksi penggembosan dalam tubuh pasukan Islam. Musuh Allah ini berhasil memprovokasi hampir sepertiga jumlah total pasukan, tidak kurang dari 300 orang kabur meninggalkan front jihad fisabilillah. ’Manusia bermuka dua’ ini memang sengaja melakukan aksi penggembosan ditengah perjalanan agar tercipta kerisauan di hati pasukan Islam sekaligus menyedot sebanyak mungkin kekuatan muslimin.

Strategi militer Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan tugas pasukan
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sang ahli strategi militer mengatur barisan pasukan dan membagi tugas serta misi mereka. Beliau menempatkan 50 pemanah di bukit Ainan bertugas sebagai sniper-sniper dibawah komando Abdullah bin Jubair bin Nu’man Al Anshary, Beliau memberi intruksi militer seraya bersabda:Gempurlah mereka dengan panah-panah kalian! Jangan tinggalkan posisi kalian dalam kondisi apapun! Lindungi punggung-punggung kami dengan panah-panah kalian! Jangan bantu kami sekalipun kami terbunuh! Dan jangan bergabung bersama kami sekalipun kami mendapat rampasan perang!. Dalam riwayat Bukhari: jangan tinggalkan posisi kalian sekalipun kalian melihat burung-burung telah menyambar kami sampai datang utusanku kepada kalian!
Sesampainya di Uhud kedua pasukan saling mendekat, panglima kafir Quraisy Abu Sufyan berupaya memecah persatuan pasukan Islam, dia berkata kepada kaum Anshar: ”Biarkan urusan kami dengan anak-anak paman kami (Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan kaum Muhajirin)! Maka kami tidak akan mengusik kalian, kami tidak ada kepentingan memerangi kalian!”
Akan tetapi, upaya Abu Sufyan tidak menuai hasil karena kokohnya keimanan kaum Anshar. Justru sebaliknya, mereka membalasnya dengan ucapan yang amat pedas yang membuat panas telinga orang yang mendengarnya.
Awal mula pertempuran
Thalhah bin Abi Thalhah Al Abdary pengampu panji perang kafir Quraisy seorang yang dikenal sangat mahir dan pemberani maju menantang mubarazah (duel), secepat kilat Zubair Ibnul Awwam menerkam dan membantingnya kemudian menggorok lehernya, Thalhah tak berdaya melepas nafas terakhirnya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bertakbir dan bertakbirlah kaum muslimin. Bangkitlah Abu Syaibah Utsman bin Abi Thalhah mengibarkan kembali panji tersebut, dengan penuh kesombongan menantang duel, secepat kilat pula Hamzah bin Abdul Mutthalib menghantam pundaknya dengan sabetan pedang yang sangat kuat hingga menembus pusarnya tak ayal tangan dan pundaknya terlepas, Utsman tersungkur tak berdaya meregang nyawa. Berikutnya Abu Sa’ad bin Abi Thalhah mengambil panji tersebut namun seiring dengan itu anak panah Sa’ad bin Abi Waqash menembus kerongkongannya, tak pelak dia jatuh terjerembab ketanah menjulurkan lidah menjadi seonggok mayat. Musafi’ bin Abi Thalhah memberanikan diri mengangkat kembali panji Quraisy namun ia tewas mendadak tersambar runcingnya anak panah Ashim bin Tsabit bin Abul Aflah. Berikutnya Kilab bin Thalhah bin Abi Thalhah saudara kandung Musafi’ mengibarkan kembali panji itu namun ia segera roboh ketanah mengakhiri hidupnya setelah pedang Zubair bin Al Awwam menyambar badannya. Al Jallas bin Abi Thalhah segera menopang kembali menopang panji itu, namun sabetan pedang Thalhah bin Ubaidillah segera memecat nyawa dari tubuhnya. Keenam pemberani tersebut berasal dari satu keluarga kabilah Bani Abdi Dar. Kemudian Arthah bin Syurahbil maju namun Ali bin Abi Thalib tak membiarkannya hidup lama menenteng panji dan langsung melibasnya, realita spektakuler aneh tapi nyata, tidaklah seorang dari musyrikin mengambil panji tersebut melainkan terenggut nyawanya hingga genap sepuluh orang menemui ajalnya disekitar panji perang musyrikin. Setelah itu tak ada seorang pun dari mereka yang bernyali mengambil panji yang tergeletak di bumi Uhud.
Wallähu Ta’älä A’lamu bish Shawäb.
 NIGELA PROPOLIS
Produk CV. Nature Herb Indonesia
Bermanfaat untuk food suplement dan mengobati berbagai macam penyakit berat ataupun ringan. seperti TBC,Asam urat,rematik,DBD,Stroke, Batuk,Miom,melancarkan darah,dll
pemesanan via email:  abumuawiyah2011@gmail.com
Peristiwa Sejarah di Bulan Ramadhan

 

Kamis, 11 Agustus 2011

SEBELAS hari sudah bulan suci Ramadhan bertandang menyapa kita. Beragam tausiah dan kegiatan lainnya telah dan akan terlaksana siih berganti. Ada satu hal yang jangan kita lupakan, bulan Ramadhan adalah bulan yang sarat dengan peristiwa bersejarah. Sejarah yang membentang tersebut mengukir kejayaan dan merekam asa Kaum Muslimin dari masa ke masa.

Ramadhan mengandung dimensi sejarah dan komunal yang terwujud dalam peristiwa-peristwa yang berlangsung setiap dan sepanjang bulan tersebut. Oleh karena itu, kita tidak boleh melewatkan lintasan sejarah tersebut untuk memberi titik tekan moral sebagai seorang muslim yang berkiprah secara aktif dalam memberi warna pada peradaban yang universal.

KH. Abdullah Abdun, pendiri sekaligus pengasuh pertama Pesantren Darut Tauhid Malang, dalam bukunya Pedoman Berpuasa, Tarawih, Zakat Fitrah dan Makna Fie Sabilillah membeberkan sejumlah peristiwa penting bagi umat Islam yang terjadi di bulan ini.

Pertama, peristiwa Perang Badar yang terjadi pada tanggal 17 Ramadhan tahun 2 Hijriyah. Perang Badar ini disebut sebagai “Yaumul Furqan” (hari pemisah antara yang hak dan batil).

Kedua, peristiwa Fathu Makkah atau pembebasan kota Makkah. Kejadian ini berlangsung persis di bulan Ramadhan tanggal 10 tahun 8 Hijriyah. Sejarah pembebasan kota Makkah menjadi tonggak kemenangan gemilang umat Islam khususnya bagi Kaum Muhajirin yang terusir oleh kaum Kafir Quraish dari tanah air mereka sendiri. Di bulan yang sama pula, Khalid bin Walid menghancurkan patung Al-Uzzah.

Ketiga, Kaum Tsaqif menyatakan keislamannya di hadapan Rasululah SAW. Setelah mengumumkan keislamannya, mereka menghancurkan patung yang dulu mereka sembah bernama Al-Lata. Peristiwa terjadi pada bulan Ramadhan tahun 9 Hijriyah.

Keempat, kemenangan umat Islam dalam perang Tabuk. Perang ini menjadi perang terakhir yang diikuti langsung oleh Nabi. Perang ini berkecamuk dan berakhir dimenangi oleh umat Islam pada tanggal 8 Ramadhan tahun 9 Hijriyah.

Kelima, tentara Islam di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad berhasil menyeberangi selat Giblatar atau Jabal Thariq untuk masuk ke Andalusia (Spanyol) dan kemudian berhasil menguasainya. Kejadian dramatis ini terjadi pada tanggal 28 Ramadhan tahun 92 Hijriyah.

Keenam, pada tanggal 15 Ramadhan tahun 658 Hijriyah, umat Islam berhasil mengalahkan tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan, cucu Genghis Khan. Perang ini terjadi di Ain Jalut, Palestina Utara.

Ketujuh, pertiswa lainnya yang pernah melintas di bulan suci ini adalah kemenangn umat Islam di Mesir melawan tentara Israel. Saat itu, tentara Mesir berhasil merebut benteng Israel, Barlev, yang diklaim tidak akan mungkin terbobol selamanya. Namun tepat pada tanggal 10 Ramadhan 1393 Hijriyah atau 6 Oktober 1973 Masehi, benteng Barlev dapat dihancurkan.

Bulan Ramadhan bukanlah sekadar bulan peningkatan kesalehan spiritual semata. Bulan ini memberikan spirit bahwa peradaban Islam yang gemilang pernah terukir di dalamnya.

Bulan Membangun Perjuangan
Karena itu, bagi Umat Islam, bulan Ramadhan adalah bulan untuk meningkatkan dan mendongkrak kesadaran keilahiaan yang terlampir dalam pesan takwa, meningkatkan solidaritas, membangun perjuangan, membela kebenaran, dan menjadi pendorong bagi tegaknya nilai-nilai kesalehan sosial di tiap saat.

Roda sejarah peradaban Islam akan terus berputar. Torehan prestasi telah berhasil dicatat oleh Nabi, Sahabat, dan orang-orang setelahnya. Telah menjadi bukti, haus dan lapar bukan batu penghalang dalam meraih kemenangan di medan laga kehidupan. Giliran kita: sejarah apa yang hendak kita ukir dalam Ramadhan edisi 1432 Hijriyah ini?
Penulis adalah staf pengajar di Ponpes. Darut Tauhid Malang

 NIGELA PROPOLIS
Produksi CV.NATURE HERB INDONESIA
BERMANFAAT UNTUK MENJAGA KESEHATAN DAN MENGOBATI BERBAGAI MACAM JENIS PENYAKIT BERAT DAN RINGAN.
SEPERTI: ASAM URAT,STROKE,DBD,REUMATIK,MELANCARKAN PEREDARAN DARAH,dll
PEMESANAN PARTAI BESAR VIA EMAIL abumuawiyah2011@gmail.com